BERITAACEH | Lhokseumawe – Seratusan pedagang sayur, buah dan rempah di Pasar Kartini, akhirnya tetap sepakat menolak relokasi pedagang ke Pasar Al-Mahirah Lamdingin, setelah mereka meninjau sendiri fasilitas di Pasar Al-Mahirah.
“Kami menuruti saran pemerintah untuk sama-sama melihat lokasi pasar, fasilitas ruang, kedai dan lapak yang tersedia. Tapi malah semakin menguatkan pendapat kami bahwa pasar mewah ini lebih cocok untuk pedagang kue, namun tidak cocok sama sekali untuk berjualan sayur dan buah,” kata Ryan, pedagang sayur Pasar Kartini Peunayong, yang ikut dalam visitasi pedagang ke Pasar Al-Mahirah, Rabu, 19 Mei 2021.
Beberapa point yang dinilai pedagang yaitu, ukuran meja lapak yang terlalu kecil, kemudian luas ruang kedai juga sangat sempit. Persoalan lainnya yakni terkait lokasi pasar berada di ujung kawasan kota yang berbatasan dengan laut, dinilai kurang strategis.
“Mungkin pasar ini cocok untuk pedagang ikan, karena rantai distribusinya menjadi pendek. Tapi tidak cocok untuk kami pedagang sayur dan buah,” tambah Fadli, pedagang lainnya.
Setelah dua jam mengamati kondisi Pasar Al-Mahirah, rombongan pedagang pun kembali ke Pasar Kartini di Peunayong, dan menggelar musyawarah dengan pengurus Ikatan Pedagang Pasar Sayur dan Buah (IP2SB).
Musyawarah itu menghasilkan keputusan bulat bahwa seluruh pedagang di Pasar Kartini tetap menolak untuk direlokasi ke Pasar Al-Mahirah, Lamdingin.
Wali Kota Langgar Qanun RTRW dan Perwal
Alasan lain yang membuat pedagang bersikeras menolak relokasi ini adalah karena tidak adanya dasar hukum bagi Pemko Banda Aceh untuk menutup Pasar Kartini.
Menurut Ketua IP2SB, Saifuddin, di dalam Qanun Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Perubahan atas Qanun Kota Banda Aceh Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Banda Aceh Tahun 2009-2029, Pasar Kartini Peunayong masih tercantum sebagai pasar rakyat. Sebaliknya, Pasar Al-Mahirah tidak tercantum dalam qanun tersebut.
Hal ini jelas menyalahi Peraturan Presiden RI Nomor 112 Tahun 2007 Tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern. Dimana dalam Pasal 2 Lokasi pendirian Pasar Tradisional wajib mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah dan Rencana Detail Tata Ruang Kabupaten/Kota, termasuk Peraturan Zonasinya.
Selanjutnya, dalam Peraturan Wali Kota Banda Aceh Nomor 26 Tahun 2017 yang ditandatangani Aminullah Usman, Pasar Kartini juga masih berstatus dan diperuntukan sebagai Pasar Rakyat. Sebaliknya, Pasar Al-Mahirah Lamdingin sama sekali tidak ada dalam Perwal tersebut.
“Artinya, keberadaan Pasar Al-Mahirah Lamdingin belum diakui dalam rencana Qanun RTRW Kota Banda Aceh, dan Pasar Kartini masih diakui secara hukum sebagai pasar rakyat. Sehingga upaya relokasi pedagang yang dilakukan Pemko Banda Aceh ini cacat hukum. Dan Wali Kota Banda Aceh Aminullah Usman telah melanggar aturan (Perwal) yang ditekennya sendiri beberapa tahun lalu,” kata Saifuddin.
Seharusnya, sebelum menggusur pedagang Pasar Kartini dan memfungsikan Pasar Al-Mahirah Lamdingin, Pemko Banda Aceh mengubah terlebih dulu Qanun RTRW dan Perwal tersebut. Dan anehnya, hal ini tidak menjadi perhatian oleh DPRK Banda Aceh yang seharusnya mengawasi kebijakan Pemko, khususnya terkait regulasi.
“Karena itu, jika relokasi ini tetap dipaksakan, kami akan melakukan gugatan hukum terhadap Pemko Banda Aceh, termasuk kepada para anggota DPRK khususnya dari Komisi II yang menurut kami tidak bekerja sesuai tugas dan kewajibannya,” tegas Saifuddin. (Rilis)