BERITAACEH | Komite Pimpinan Wilayah Solidaritas Mahasiswa Untuk Rakyat (KPW-SMUR) Kota Lhokseumawe dan Aceh Utara mendesak Pemerintah Aceh, segera mengeksekusi Qanun Pertanahan. Pasalnya di Aceh konflik agraria antara perusahaan mencapai 5.420,5 hektar lebih, kemudian, 79 orang dipidana dengan tuduhan memasuki dan menduduki pekarangan orang lain tanpa izin.
“Sejak ditandatanganinya perjanjian damai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Republik Indonesia (RI) pada 2005 silam di Helsinki, kemudian buah daripada Perjanjian damai tersebut melahirkan Undang-undang Pemerintah Aceh (UUPA) dimana salah satu isinya mengatur tentang kewenangan mengatur sendiri tentang pertanahan di Aceh,” kata Nanda Rizky, Selasa, 27 April 2021 .
Menurutnya, sejak tahun 2017 DPRA telah telah Rancangan Qanun Aceh tentang Pertanahan sebagai salah satu qanun dalam rencana program legislamasi daerah Aceh (Prolegda). Awalnya Qanun ini di Lembaga Masyarakat sipil Aceh, mengingat angka perampasan lahan dan ketimpangan penguasaan lahan yang semakin tinggi di Aceh.
“Setidaknya draft Qanun ini, mengandung tiga hal penting, Pertama terkait dengan Perbaikan Tata kelola pertanahan di Aceh, kedua terkait dengan penyelesaian konflik perampasan lahan, dan yang ketiga adalah terkait dengan redistribusi lahan pertanahan di Aceh, termasuk didalamnya pemberian lahan untuk mantan kombatan dan korban konflik,” ungkapnya.
Namun pada kenyataannya, sampai sekarang pembahasan terkait rancangan qanun pertanahan itu masih belum menemui titik terang.
“Kita melihat sepertinya pemerintah Aceh tidak serius mengurus yang beginian, padahal hal yang begini sangat substansial, sangat dibutuhkan oleh rakyat Aceh sekarang,” jelas Nanda Rizky
Kehadiran rancangan Qanun Pertanahan tersebut di Aceh merupakan suatu hal yang wajib, mengingat tingkat konflik agraria di Aceh setiap tahunnya semakin meningkat, menurut data yang kami himpun dari berbagai sumber, setidaknya Luas konflik agraria di Aceh mencakup 5.420,5 hektar yang meletus di empat kabupaten yaitu Kabupaten Bireuen, Aceh Tamiang, Aceh Barat Daya dan Kabupaten Nagan raya.
“Konflik terjadi antara warga Gampong Paya Rahat, Teuku Tinggi, Tanjung Lipat Satu dan Tanjung Lipat Dua, versus PT Rapala di Aceh Tamiang. Sementara di Kaubpaten Bireuen Gampong Krueng simpo versus dengan PT Syaukat Sejahtera, selanjutnya di Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya) konflik terjadi di Gampong Pante Cermin versus PT Dua Perkasa Lestari, selanjutnya di Kabupaten Nagan Raya di Gampong Cot Me Versus PT Fajar Baizury.. Dan yang paling miris di Kabupaten Aceh Tamiang, Desa Perkebunan Sungai Iyu, seutuhnya masuk dalam wilayah perkebunan PT. Rapala, masyarakat di usir, dan sekarang ada 22 warga desa tersebut ditetapkan sebagai tersangka,” katanya.
Menurunya, konflik agraria di Aceh berdampak pada 4.080 jiwa, selainya itu sebanyak 57 orang tercatat sebagai korban kriminalisasi, kemudian 57 orang dipidana dengan tuduhan memasuki dan menduduki pekarangan orang lain tanpa izin.
“Padahal masyarakat audah tinggal dan menggarap lahan tersebut jauh sebelum perusahaan itu ada,” ungkapnya.
Rancangan qanun pertanahan sendiri sebelumnya sudah masuk kedalam prolega (program legislasi Aceh) pada tahun 2020, dan kini di tahun 2021 juga kembali dijadikan sebagai salah satu Qanun perioritas.
“Draf raqan itu terdiri dari sebelas bab dan 165 pasal. Diantaranya mengatur tentang kewenangan pemerintah Aceh dalam hal perizinan dan hak guna usaha (HGU) dan pembentukan komisi pertanahan yang salah satu fungsinya menerima pengaduan serta penyelesaian sengketa pertanahan secara adil dan merata,” ungkapnya.
Meminta kepada pemerintah Aceh DPRA dan dinas pertanahan untuk segera menyelesaikan pembahasan terkait rancangan qanun pertanahan dan segera mengesahkan rancangan Qanun tersebut, meskipun hal ini sudah sangat terlambat.
“Ini bisa menjadi oase ditengah semrawutnya konflik agraria di tanah Aceh, dan kemudian dengan melihat kasus yang sedang terjadi di wadas, hal itu kemudian ditakutkan akan terjadi di tanah Aceh,” harapnya.