BERITAACEH | Banyak cerita saat tsunami menghantam daratan Aceh 16 tahun lalu. Tak terkecuali kisah-kisah keajaiban yang mungkin sulit dicerna akal manusia.
Satu di antaranya dialami oleh Umi Kalsum, 71 tahun, warga Desa Alue Naga, Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh.
Ahad pagi itu, 26 Desember 2004, Umi Kalsum tengah bersiap memandikan orang yang baru melahirkan. Usai memasak sarapan, dia bergegas mandi sebelum meninggalkan rumah. Baru beranjak ke kamar mandi, tubuhnya merasakan adanya guncangan hebat.
Gempa berkekuatan 9,3 skala richter itu mengguncang tubuh dan rumahnya. Mak Sum, panggilan akrab Umi Kalsum, bersama seluruh anggota keluarganya lari keluar rumah.
“Sejumlah pot bunga jatuh dan hancur. Saya merasakan gempa sekitar delapan menit. Setelah itu, saya menanam kembali bunga-bunga ke pekarangan rumah,” kata Umi Kalsum
Tak lama berselang, anak ketiganya teriak memberi tahu air laut sudah naik. Letak rumah Mak Sum dengan bibir pantai hanya terpaut sekitar satu kilometer. Di belakang rumahnya terdapat sejumlah pohon-pohon besar yang menghalangi pandangan dari gelombang air laut yang datang cepat.
“Saya bilang ke anak saya waktu itu, ‘jangan minta yang tidak-tidak. Mana mungkin air laut naik’,” kata Mak Sum.
Namun akhirnya Mak Sum ikut melarikan diri juga sambil menggenggam tangan cucunya. Belum jauh Mak Sum berlari, tiba-tiba tubuhnya terhempas gelombang tsunami. cucunya terlepas dari genggaman. Ia timbul tenggelam bersama puing-puing bangunan yang dibawa air bercampur lumpur.
Berselang beberapa menit Mak Sum pingsan, sehingga ia tak mengetahui adanya ular bersama dirinya. Setelah siuman, Mak Sum mendengar orang-orang melihat Mak Sum dililit ular di dekat sebuah rawa-rawa. Tak ada yang berani menolong karena ular sangat besar.
Mak Sum kembali sadar saat tubuhnya berada di bawah jembatan Krueng Cut, tak jauh dari rumahnya. Saat siuman, Mak Sum melihat kepala ular tepat di depan mukanya. Ular berwarna loreng itu melilit seluruh tubuh Mak Sum. Ia terus berdoa agar selamat dari terjangan gelombang tsunami.
“Subhanallah ular itu besar sekali, saya sempat berucap selamatkan saya ke darat,” kata Mak Sum.
Mendengar permintaan Mak Sum, ular itu langsung menenggelamkan diri ke dasar sungai dan membawanya melewati jembatan Lamnyong atau berjarak sekitar satu kilometer.
Mak Sum sempat melihat gelimangan mayat hayut bersama sampah dibawa arus Krueng Aceh akibat tsunami, sebelum tubuhnya dibenamkan ular besar tersebut.
“Begitu saya ucapkan selamatkan saya ya meutuah (mulia), ular itu langsung nyelam dalam air, dengan posisi tubuh saya masih dililit. Sampai saya sangkut dengan sampah di kawasan sungai Lamnyong, itu saya masih dililit,” ujarnya.
Saat gelombang ketiga datang, ular itu menyelamatkan Mak Sum ke atas sebuah pohon. Tubuhnya masih terlilit di antara puing-puing yang terseret gelombang. Baju Mak Sum robek semua. Hanya tersisa benang.
Beberapa menit berselang air surut. Di kawasan Sungai Lamnyong seorang remaja melemparkan sehelai baju kaos dan seorang wanita yang memberikan sehelai gorden untuk menutupi tubuhnya.
Sejumlah warga yang melihatnya berada di antara puing-puing dalam lilitan ular berusaha menyelamatkan Mak Sum. Saat ia ditarik ke atas, tiba-tiba ular melepas lilitan. Ketika itu pula Mak Sum melihat ayam yang dipegangnya dari rumah juga masih hidup. Ular itu tak terlihat lagi.
Setelah diselamatkan relawan PMI, Mak Sum sempat mendapatkan perawatan. Namun karena kondisi saat itu tidak kondusif dan tubuhnya yang lelah, dia sempat tertidur di jalanan, hingga tubuhnya diangkut dan diletakkan dengan tumpukan mayat lainnya.
“Saya diangkut ke daerah kuburan T Nyak Arif ditumpukin saya dengan mayat di situ,” tutur Umi.
Kejadian itu membuat Mak Sum trauma berat. Bahkan di tenda pengungsian, saat angin bertiup kencang, Mak Sum menjauh dari tenda. Dia memilih tidur di tengah jalan.
Pada hari kelima, Mak Sum diminta untuk memandikan jenazah korban tsunami yang sudah berhasil dievakuasi. Ia awalnya menolak permintaan itu tapi setelah dibujuk, akhirnya Mak Sum mau memandikan puluhan jenazah.
“Saya sudah 35 tahun jadi bidan desa. Kerja saya selain membantu orang melahirkan juga memandikan jenazah. Sampai sekarang kalau ada orang meninggal mereka memanggil saya untuk memandikan jenazah,” kata Mak Sum.
Saat ini Mak Sum tinggal di rumah bantuan yang dibangun di Desa Alue Naga. Saat ini letak tempat tinggalnya dengan laut hanya sekitar 100 meter. Di samping rumahnya, Mak Sum berjualan makanan ringan di sebuah kios kecil miliknya. Ia kembali menata hidup dan melanjutkan aktivitasnya sebagai bidan desa untuk membantu warga di sana.
“Suami, anak, dan cucu saya menjadi korban dalam musibah itu. Ada sekitar 30 orang (anggota keluarga) yang jadi korban,” kata Mak Sum (RMOLACEH)